Jumat, 29 Juli 2011

Radikalisme Pendaki

Tulisan ini telah mendapatkan izin dari Kang Jenggot untuk di publish juga di Blog KPAWW ini. Menurut saya tulisannya sangat menarik. Sehingga saya memberanikan diri untuk meminta izin dari beliau agar tulisan ini bisa saya copy paste kesini. Semoga rekan2 KPAWW bisa menarik manfaat dari tulisannya.



Para penggiat petualangan (pendakian gunung) ini paling tidak saya klasifikasikan kedalam dua “style” (Tesis pribadi saja sih). Pertama adalah pendaki sebagai seorang “sportman” dan pendaki non sport (hoby, obsesi, publisitas, doktrin, dll). Saya pikir “style” adalah pilihan dan konsekwensinya pastilah berjalan linear dengan pilihan yang kita ambil.

Seorang pendaki dengan jenis kelamin “Sportman” pastilah melakukan pendakiannya dengan sangat terukur dengan kalkulasi yang sudah matang. Sehingga jikapun terjadi musibah dalam pendakiannya, akan dievaluasi dari sisi teknis, statistik dan probabilitas.
Lain halnya dengan pendaki dengan jenis kelamin “non Sport”, kelompok ini jumlahnya mayoritas dan tidak hanya di Indonesia. Pendaki jenis ini biasanya melakukan pendakian/ekspedisi dengan motivasi yang bermacam2 dan cenderung subjektif (publisitas, ambisi, doktrin, dll) sehingga yang sering terjadi adalah melanggar norma2 yang baku, lalu ketika terjadi musibah maka dianggap sebagai takdir Tuhan semata.

Jika uraian saya masih bias, saya akan coba dengan pendekatan kasuistik dua pendaki legendaris yang masih hidup sampai sekarang yaitu Charles Houston (US) dan Reinhold Messner (Italy). Dalam hal ini saya anggap Houston adalah representasi dari pendaki Sportman, dan Messner saya anggap sebagai jenis yang kedua.

Karena bergaya “Sportman”, Houston melakukan prepare pendakian (K2-1938) nya dengan sangat matang. Tetapi ketika dia mendapati kenyataan bahwa puncak tidak mungkin dicapai saat itu (1938) dengan perhitungan teknisnya, ia pun turun kembali. Lima belas tahun kemudian setelah dirasa mental, skill teknik dan teknologi pendakian dirasa mumpuni barulah dia kembali ke K2 pada tahun 1953 dan mencobanya kembali. Karena alasan keamanan dan peraturan daerah (Perda) di pakistan, maka sherpa2 akhirnya hanya bisa membantu sampai Camp II dan setelah itu pendakian dilakukan dengan “alpine style” (tradisional). Karena tidak ada “high-altitude porters” maka team harus memiliki fisik dan mental yang prima. Singkat cerita “Third American Expedition” ini pun kandas di leher gunung karena cuaca buruk. Houston sempat mengkalkulasikan “probability summit attempt” selama beberapa hari dalam suasana terjebak badai di Camp VIII dan akhirnya karena faktor fisik team yang tidak memenuhi syarat akhirnya Houston sebagai leader pun memutuskan turun.

Kini, keputusan sulitnya 56 tahun yang lalu itu diyakini adalah keputusan paling fantastis (mengorbankan ego, nafsu dan ambisi mahluk manusia) untuk mencapai puncak tapi harus dibatalkan karena kalkulasi teknis dan “probability summit attempt” yang tidak memungkinkan untuk mencapai puncak!!!!. Sejarah mencatat dengan tinta emas hingga saat ini bahwa seorang Sportman tidak akan mengorbankan nyawanya, hanya untuk sekedar sampai di puncak gunung. Dan pastinya rekan2 semua sudah tau dengan kalimat emas dunia pendakian tentang “kebersamaan” ("we entered the mountain as strangers, but we left it as brothers") yang saat ini diakui di dunia, ya karena “prestasi” Houston dalam Third American Expedition tahun 1953 itu.

Nah, selanjutnya adalah Reinhold Messner. Saya setuju dengan menganalogikan messner sebagai radikal, extrem dan revolusioner. Tetapi pencapaian messner saya pikir adalah sebagai pembuktian ambisi, ego, nafsu pribadi untuk memberitahu dunia bahwa “lazy climber” dengan logistik dan sherpa yang banyak ditambah tabung oksigen yang berat adalah sebuah hal yang tidak efisien. Sisi subjektif ini diakui secara umum di dunia pendakian dan semua pendaki tahu bahwa apa yang dilakukan messner bukan untuk dilampaui, tetapi sebagai bagian dari “item teknik” untuk alternatif yang sewaktu2 dapat dilakukan (jika keadaan memaksa).

Jadi messner saya pikir adalah pendaki dengan motivasi yang tidak sebagai “Sportman” tetapi lebih kepada pencapaian ambisi pribadi. Dan saya pikir sejarah tidak akan mencatat messner-messner baru dikemudian hari karena apa yang dilakukannya bukanlah untuk dilampaui. Cukuplah menjadi seven summiters saja prestasi tertinggi pendaki saat ini. Jika pendaki2 masa kini berlomba2 untuk melampaui prestasi "eight-thousander" nya messner, saya kira regenerasi pendaki akan sulit dilakukan karena pendaki2 senior yang ada kemungkinan besar habis menjadi korban ambisi abadi umat manusia. Cukup Jerzy Kukuczka saja yang menjadi tumbal perlombaan egoisme dan nafsu eight-thousander.

Pemerintah nepal, china, pakistan dan Indonesiapun pastinya akan mengeluarkan regulasi pendakian yang ketat jika “trend” alpine style ini bertambah banyak, karena ukuran pendaki yang layak untuk melakukan pendakian dengan gaya alpine style inipun masih bias dan tidak baku dengan resiko kematian yang cukup tinggi. Dan jangan lupa sisi psikologis messner dengan “alpine style” nya pun tidak lepas dari tragedi “Diamir Face” di Nanga Parbat 1970, bukan? Mungkin jika “first alpine style” nya di Nanga Parbat berlangsung sukses (naik dan turun dengan jalur yang sama) dan tidak kehilangan Ghunter, saya kira messner tidak akan sehebat sekarang.


Nah, bagaimana dengan pendaki Indonesia?
Saya kira kita bisa mengeneralisir masalah ini ke Indonesia. Saat ini hanya sedikit pendaki yg menganut mazhab “Sportman” sebagai acuan dalam aktivitas pendakiannya. Untunglah gunung2 di Indonesia rata2 adalah jenis gunung daerah tropis, sehingga tidak dibutuhkan skill yang tinggi untuk mencapai kebanyakan puncaknya.

Pendaki Indonesia secara umum masih dalam pola pikir menaklukan puncak2 yang ada. Atau bahasa awamnya puncak 3000an sebagai salah satu ambisi khas Indonesianis. Mencapai puncak adalah prestasi!!! Itulah “krusial point” nya. Banyak yang tidak tau 76% tragedi pendakian adalah ketika turun dari puncak. Tragisnya lebih banyak lagi yang tidak mau tau, dan baru tau setelah terjebak dalam suasana “point of no return” disaat semua keputusan apapun yang dibuat adalah bencana.

Sederhananya adalah sangat sedikit pendaki kita yang mau belajar Manajemen Resiko dalam pendakian. “Failure of Risk Management” dianggap hanyalah milik gunung2 8000an dan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Lalu kebanyakan langsung terjun ke lapangan dengan keyakinan bahwa kegiatannya itu pastilah selamat dan tidak akan terjadi musibah. Oleh karena itu saran saya sih, kenali kemampuan kita, share dengan rekan2 sehoby, adakan trial perjalanan, pematangan teknik (knowledge) & mental, setelah semuanya matang dan stabil barulah PUSH U’R LIMIT……


Past is key for the future
Dulu (awal tahun 90an) Saya pun memulai kegiatan ini dengan gaya urakan, kampungan, nekat, tanpa perhitungan dan radikal tentunya. Sok hebat dengan menjadi team pendahulu (eh malah nyasar beberapa hari). Untunglah maut gagal menjemput di beberapa titik kritis pendakian extrem masa lalu sehingga saya masih bisa memetik manfaat dari sejarah. Secara pribadi saya butuh waktu lama (sekitar 7 tahun) sampai akhirnya merubah total gaya pendakian dari “urakan” menjadi terprogram dan penuh perhitungan. (Jenggot/21072011).


Salam.


JENGGOT

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by RadaBolot - BolotJourney | Design Blog, RadaBolot