Selasa, 04 Oktober 2011

1 Oktober Di Cikuray



Berawal dari batalnya semua trip yang telah saya rencanakan (Merbabu, Ungaran, Lawu, Talaga Bodas) akhirnya saya menyambut ajakan seorang rekan untuk ikut merasakan kejamnya tanjakan Cikuray.

Selepas Magrib langsung meluncur menuju Meeting Point rombongan Jakarta di Terminal Kp. Rambutan. Beruntung malam itu jalanan tidak terlalu macet sehingga saya bisa sampai di sana tepat pada waktu yang ditentukan. Tak lama, kami segera meluncur ke kota Garut. 14 Orang anggota Tim langsung ambil posisi untuk tidur, meski ada beberapa yang asik mengobrol.

Pukul 01.00 perjalanan berakhir di terminal Guntur, sesuai dengan kesepakatan akhirnya kami menuju Universitas Garut untuk beristirahat di Basecamp Gerhana. Disambut oleh kang opik dan Imad (terima kasih sudah mau direpotkan untuk mengantar saya membeli sarapan subuh)

Makan dan tidur menjadi agenda selanjutnya. Meski banyak di antara kami yang akhirnya bergadang karena tak bisa tidur. Selepas Subuh, pick up yang akan membawa kami menuju pemancar Cikuray tiba, dan kami bergegas naik untuk memulai perjalanan kami yang sesungguhnya.

Pukul 08.30 akhirnya kami sampai di Pos Pemancar yang dijadikan sebagai titik start pendakian. (sempat terjadi hal tidak enak saat menuju pos ini, Pak Asep selaku driver salah memilih jalan sehingga kami kehilangan banyak waktu. Setelah berkoordinasi dengan rekan di mobil yang lain, akhirnya kami bisa benar2 sampai di pos Pemancar. 1 sisi negatif dari pak Asep semakin terlihat jelas di mata saya, meski sisi positif dari Sopir yang semakin tua ini tidak mengurangi rasa hormat saya pada beliau)

pukul 09.00 WIB
Setelah berdoa, pendakian dimulai. Sayang, kabut benar2 menggila saat itu, sehingga nuansa hijau perkebunan teh tidak dapat dengan sempurna kami rasakan. Tanjakan di awal perjalan mulai memanaskan otot kami, berharap tanjakan2 selanjutnya kaki2 kami akan benar2 terbiasa.

Beberapa rekan yang memang memiliki fisik yang kuat langsung meluncur jauh ke depan, meninggalkan kami yang hanya memiliki stamina yang pas-pasan. Sepanjang perjalanan, jokes2 untuk mengusir lelah sesekali membuat kami tertawa, sangat membantu untuk menikmati perjalanan kami yang pagi itu terus diselimuti kabut tebal.

Beratnya tanjakan Cikuray pada akhirnya membuat beberapa rekan (termasuk saya) benar2 terkuras staminanya. bahkan 1 orang di antara kami sudah terlihat sangat kepayahan.

Hanya keterpaksaan yang membuat kami (Saya terutama) untuk terus melangkahkan kaki karena tidak mungkin untuk kembali ke bawah,dan tidak ada spot untuk mendirikan tenda.

Beban di punggung membuat kaki semakin berat untuk di ajak bekerjasama, langkah2 kami semakin melambat dan pada akhirnya, 1 Orang di antara kami harus benar2 berhenti karena kondisi fisik yang sudah benar2 payah untuk menunggu jemputan dari rekan2 yang telah sampai terlebih dahulu di puncak. Jo menjadi pendamping sejati bagi kekasihnya,dimata saya, terlihat jelas betapa ia sangat menjaga wanita yang diajaknya tersebut.

Hampir isya ketika akhirnya kami sampai di puncak Cikuray. Disambut dengan minuman hangat dan makan bersama membuat kelelahan yang kami rasakan menguap perlahan. Kebersamaan malam itu, pelan2 menghilangkan kejenuhan kami saat menikmati kejamnya Tanjakan Cikuray yang seperti tidak mengenal belas kasih. Dan satu persatu, tim pendakian ini mulai menuju alam mimpinya masing-masing.

Terbangun kira-kira pukul 05.00, mata saya langsung dimanjakan oleh semburat kuning keemasan di Timur sana. Matahari memang belum muncul, tapi momen-momen kelahirannya yang lambat tapi pasti membuat saya bergegas menyiapkan kamera retak saya untuk mengabadikan saat-saat tersebut (Hal yang disebut sebagai ketololan oleh mereka ; Cape2 naik gunung untuk ngeliat matahari Terbit, I don't Care). Tak lupa membangunkan rekan setenda,saya langsung naik ke Bangunan yang berdiri gagah di puncak Gunung Cikuray untuk mendapatkan hasil foto terbaik dari kamera yang sepertinya sudah tidak mungkin saya gunakan lebih lama lagi.

Beruntung kabut tidak bertingkah pagi itu, sehingga momen tersebut dapat kami nikmati sepuasnya meski tidak dalam waktu yang lama

Pukul 08.00 kami memutuskan untuk turun. Selain kabut yang mulai menggila, kami pun harus mengejar waktu agar tidak tertinggal bis terakhir menuju Jakarta yang (menurut kabar) berangkat dari terminal guntur pada pukul 18.00.

Bertemu dengan 2 Orang rekan kaskuser (Cojack dan Obi) di puncak Cikuray. Turut berduka karena mereka hanya mendapatkan kabut (saya percaya, mereka mendapatkan sesuatu yang lebih dari hanya sekedar Keindahan yang sempurna di Puncak sana)

Perjalanan turun, formasi pendakian masih tetap seperti formasi waktu menanjak. Tim Lelet tetap tercecer di belakang. Sehingga butuh hampir 4jam untuk sampai kembali di Pos Pemancar.Herry yang mengalami kram di paha kanannya (ada yg bilang keseleo) terpaksa harus di papah. Puji syukur kepada-Nya akhirnya beliau sampai di Pemancar

tinggal 2 orang lagi, dan waktu yang terus berjalan membuat beberapa rekan memutuskan untuk menjemput mereka ke atas. Kondisi Rara yang kemarin memang sudah drop membuat kami yakin ada kejadian tidak enak yang menimpanya.

Dan hal itu terbukti benar, rekan2 yang menjemput mereka bercerita saat sepasang kekasih tersebut ditemukan, mereka turun dengan cara meluncur dengan pantat mereka mengikut jalur air. hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena kondisi si wanita benar2 sudah tidak memungkinkan untuk diajak berjalan.

Mereka memilih untuk meluncur dengan maksud mengurangi jarak dengan tim yang akan menjemput mereka. Sebuah keputusan yang saya rasa tepat, karena jika mereka memilih diam, bisa saja hal2 yang diluar logika terjadi (bukan hanya sekali kan ketika kondisi drop "sesuatu" sering terjadi pada pendaki?"

Akhirnya, Rara harus ditandu untuk sampai ke Pemancar. Kami yang berada di bawah, langsung merasa sangat senang ketika perlahan, di ujung sana bayang mereka mulai muncul satu persatu. Rekan-rekan wanita yang ada langsung membuat minuman hangat.

Alhamdulillah,Akhirnya mereka benar2 sampai. Terima kasih yang tak terhingga untuk para rangers dari Gunung Lawu yang turut serta dalam pendakian ini. Dengan jasa mereka dan bantuan dari Dia Yang Maha Segala, akhirnya 2 orang rekan dari Tambun ini bisa sampai di Pemancar. Tak lama, setelah dirasa perjalanan pulang bisa dilaksanakan. Kami mulai naik ke pick up yang telah lumayan lama menunggu.

Sepanjang jalan, tawa kembali mengalir deras setelah tegang membayangi proses penjemputan Jo dan Rara. Hampir Isya ketika akhirnya kami sampai di Guntur dan kembali ke kota kami masing2.

Thanks To
- Dia Yang Maha Segala, yang telah menciptakan alam dengan keindahannya yang luar biasa
- Rekan2 dari Gunung Lawu. kalian Macan bro
- Andri Suanto, utk nomor Pak Asep
- Pak Asep yang telah mengantar kami pulang pergi dengan selamat dengan harga yang "oke" juga dengan bonus beberapa kejadian yang membuat kami tegang, sekaligus tertawa terbahak-bahak
- Kang Opik dan rekan2 yang telah menyambut kami di Basecamp Gerhana
- Imad yang telah sudi terkurangi jatah tidurnya. Makasih obrolannya sepanjang jalan saat kita cari makan untuk sarapan. Tapi serius, saya ngga bisa dengar dengan baik apa yang ente bicarakan
- Rifah Maslah, yang sudah mengajak saya turut serta
- Cojack & Obi, kalian memang sepasang maho yang sempurna
- Semua rekan2 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Perjalanan kemarin sangat luar biasa friends

Pengeluaran :
Rambutan - Guntur Rp. 30.000
Guntur - Basecamp Rp. 1.000
Pick Up Naik Rp. 25.000
Pick Up Turun Rp. 20.000
Guntur - Rambutan Rp. 35.000

SGD/Bekasi

Jumat, 29 Juli 2011

Radikalisme Pendaki

Tulisan ini telah mendapatkan izin dari Kang Jenggot untuk di publish juga di Blog KPAWW ini. Menurut saya tulisannya sangat menarik. Sehingga saya memberanikan diri untuk meminta izin dari beliau agar tulisan ini bisa saya copy paste kesini. Semoga rekan2 KPAWW bisa menarik manfaat dari tulisannya.



Para penggiat petualangan (pendakian gunung) ini paling tidak saya klasifikasikan kedalam dua “style” (Tesis pribadi saja sih). Pertama adalah pendaki sebagai seorang “sportman” dan pendaki non sport (hoby, obsesi, publisitas, doktrin, dll). Saya pikir “style” adalah pilihan dan konsekwensinya pastilah berjalan linear dengan pilihan yang kita ambil.

Seorang pendaki dengan jenis kelamin “Sportman” pastilah melakukan pendakiannya dengan sangat terukur dengan kalkulasi yang sudah matang. Sehingga jikapun terjadi musibah dalam pendakiannya, akan dievaluasi dari sisi teknis, statistik dan probabilitas.
Lain halnya dengan pendaki dengan jenis kelamin “non Sport”, kelompok ini jumlahnya mayoritas dan tidak hanya di Indonesia. Pendaki jenis ini biasanya melakukan pendakian/ekspedisi dengan motivasi yang bermacam2 dan cenderung subjektif (publisitas, ambisi, doktrin, dll) sehingga yang sering terjadi adalah melanggar norma2 yang baku, lalu ketika terjadi musibah maka dianggap sebagai takdir Tuhan semata.

Jika uraian saya masih bias, saya akan coba dengan pendekatan kasuistik dua pendaki legendaris yang masih hidup sampai sekarang yaitu Charles Houston (US) dan Reinhold Messner (Italy). Dalam hal ini saya anggap Houston adalah representasi dari pendaki Sportman, dan Messner saya anggap sebagai jenis yang kedua.

Karena bergaya “Sportman”, Houston melakukan prepare pendakian (K2-1938) nya dengan sangat matang. Tetapi ketika dia mendapati kenyataan bahwa puncak tidak mungkin dicapai saat itu (1938) dengan perhitungan teknisnya, ia pun turun kembali. Lima belas tahun kemudian setelah dirasa mental, skill teknik dan teknologi pendakian dirasa mumpuni barulah dia kembali ke K2 pada tahun 1953 dan mencobanya kembali. Karena alasan keamanan dan peraturan daerah (Perda) di pakistan, maka sherpa2 akhirnya hanya bisa membantu sampai Camp II dan setelah itu pendakian dilakukan dengan “alpine style” (tradisional). Karena tidak ada “high-altitude porters” maka team harus memiliki fisik dan mental yang prima. Singkat cerita “Third American Expedition” ini pun kandas di leher gunung karena cuaca buruk. Houston sempat mengkalkulasikan “probability summit attempt” selama beberapa hari dalam suasana terjebak badai di Camp VIII dan akhirnya karena faktor fisik team yang tidak memenuhi syarat akhirnya Houston sebagai leader pun memutuskan turun.

Kini, keputusan sulitnya 56 tahun yang lalu itu diyakini adalah keputusan paling fantastis (mengorbankan ego, nafsu dan ambisi mahluk manusia) untuk mencapai puncak tapi harus dibatalkan karena kalkulasi teknis dan “probability summit attempt” yang tidak memungkinkan untuk mencapai puncak!!!!. Sejarah mencatat dengan tinta emas hingga saat ini bahwa seorang Sportman tidak akan mengorbankan nyawanya, hanya untuk sekedar sampai di puncak gunung. Dan pastinya rekan2 semua sudah tau dengan kalimat emas dunia pendakian tentang “kebersamaan” ("we entered the mountain as strangers, but we left it as brothers") yang saat ini diakui di dunia, ya karena “prestasi” Houston dalam Third American Expedition tahun 1953 itu.

Nah, selanjutnya adalah Reinhold Messner. Saya setuju dengan menganalogikan messner sebagai radikal, extrem dan revolusioner. Tetapi pencapaian messner saya pikir adalah sebagai pembuktian ambisi, ego, nafsu pribadi untuk memberitahu dunia bahwa “lazy climber” dengan logistik dan sherpa yang banyak ditambah tabung oksigen yang berat adalah sebuah hal yang tidak efisien. Sisi subjektif ini diakui secara umum di dunia pendakian dan semua pendaki tahu bahwa apa yang dilakukan messner bukan untuk dilampaui, tetapi sebagai bagian dari “item teknik” untuk alternatif yang sewaktu2 dapat dilakukan (jika keadaan memaksa).

Jadi messner saya pikir adalah pendaki dengan motivasi yang tidak sebagai “Sportman” tetapi lebih kepada pencapaian ambisi pribadi. Dan saya pikir sejarah tidak akan mencatat messner-messner baru dikemudian hari karena apa yang dilakukannya bukanlah untuk dilampaui. Cukuplah menjadi seven summiters saja prestasi tertinggi pendaki saat ini. Jika pendaki2 masa kini berlomba2 untuk melampaui prestasi "eight-thousander" nya messner, saya kira regenerasi pendaki akan sulit dilakukan karena pendaki2 senior yang ada kemungkinan besar habis menjadi korban ambisi abadi umat manusia. Cukup Jerzy Kukuczka saja yang menjadi tumbal perlombaan egoisme dan nafsu eight-thousander.

Pemerintah nepal, china, pakistan dan Indonesiapun pastinya akan mengeluarkan regulasi pendakian yang ketat jika “trend” alpine style ini bertambah banyak, karena ukuran pendaki yang layak untuk melakukan pendakian dengan gaya alpine style inipun masih bias dan tidak baku dengan resiko kematian yang cukup tinggi. Dan jangan lupa sisi psikologis messner dengan “alpine style” nya pun tidak lepas dari tragedi “Diamir Face” di Nanga Parbat 1970, bukan? Mungkin jika “first alpine style” nya di Nanga Parbat berlangsung sukses (naik dan turun dengan jalur yang sama) dan tidak kehilangan Ghunter, saya kira messner tidak akan sehebat sekarang.


Nah, bagaimana dengan pendaki Indonesia?
Saya kira kita bisa mengeneralisir masalah ini ke Indonesia. Saat ini hanya sedikit pendaki yg menganut mazhab “Sportman” sebagai acuan dalam aktivitas pendakiannya. Untunglah gunung2 di Indonesia rata2 adalah jenis gunung daerah tropis, sehingga tidak dibutuhkan skill yang tinggi untuk mencapai kebanyakan puncaknya.

Pendaki Indonesia secara umum masih dalam pola pikir menaklukan puncak2 yang ada. Atau bahasa awamnya puncak 3000an sebagai salah satu ambisi khas Indonesianis. Mencapai puncak adalah prestasi!!! Itulah “krusial point” nya. Banyak yang tidak tau 76% tragedi pendakian adalah ketika turun dari puncak. Tragisnya lebih banyak lagi yang tidak mau tau, dan baru tau setelah terjebak dalam suasana “point of no return” disaat semua keputusan apapun yang dibuat adalah bencana.

Sederhananya adalah sangat sedikit pendaki kita yang mau belajar Manajemen Resiko dalam pendakian. “Failure of Risk Management” dianggap hanyalah milik gunung2 8000an dan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Lalu kebanyakan langsung terjun ke lapangan dengan keyakinan bahwa kegiatannya itu pastilah selamat dan tidak akan terjadi musibah. Oleh karena itu saran saya sih, kenali kemampuan kita, share dengan rekan2 sehoby, adakan trial perjalanan, pematangan teknik (knowledge) & mental, setelah semuanya matang dan stabil barulah PUSH U’R LIMIT……


Past is key for the future
Dulu (awal tahun 90an) Saya pun memulai kegiatan ini dengan gaya urakan, kampungan, nekat, tanpa perhitungan dan radikal tentunya. Sok hebat dengan menjadi team pendahulu (eh malah nyasar beberapa hari). Untunglah maut gagal menjemput di beberapa titik kritis pendakian extrem masa lalu sehingga saya masih bisa memetik manfaat dari sejarah. Secara pribadi saya butuh waktu lama (sekitar 7 tahun) sampai akhirnya merubah total gaya pendakian dari “urakan” menjadi terprogram dan penuh perhitungan. (Jenggot/21072011).


Salam.


JENGGOT

Kamis, 28 Juli 2011

Ekspedisi Ceria Papandayan 4-6 Maret 2011

Ekspedisi ini bermula dari lontaran ide saya (Rudy Priyanto aka AbuMusyaffa) untuk melakukan pendakian ke Papandayan ke beberapa rekan kantor. Gayung bersambut, spektrum ajakan pun diperluas ke komunitas milist perumahan (vilanusaindah@yahoogroups.com) dimana saya bergiat, dan beberapa milist berbasis “Outdoor Travelling”. Singkat cerita, 20 orang mengkonfirmasi minat kesertaan dalam perjalanan ini. Dari ragam latar belakang dan sebagian besar tidak saling mengenal sebelumnya, rencana perjalanan pun difiksasi untuk dihelat dalam rentang 4-6 Maret 2011, dengan disepakati berformat “One Day Tracking” alias direncanakan untuk melahap trek parkiran papandayan – kawah – tegal alun – puncak – parkiran papandayan semenjak pagi hingga (diharapkan) sudah menjejak pelataran bawah lagi sebelum maghrib, tanpa membuka tenda ditengah perjalanan, mengingat lagi hampir setengah dari peserta rombongan adalah baru pertama kali menjajal mendaki gunung.

Perjalanan di mulai dari Meeting Point Halte Busway Lebak Bulus 4 Maret 2011. Dari ketetapan kumpul Pkl 19.30 WIB, ke-20 peserta baru baru benar2 kumplit pada pukul 21.00 WIB dengan hampir terkendala hal yg sama.. Macet !. Pkl 21.15 seluruh peserta rombongan sudah duduk manis di Bis Primajasa jadwal pemberangkatan terakhir menuju Garut. Setelah menunggu penuhnya bis, pkl 22.00 WIB bis bertolak dari terminal lebak bulus menuju Garut dengan ongkos Rp.35.000/orang harus disiapkan masing2 penumpang.

Jam menunjukkan pkl 03.00 WIB dinihari ketika bis yg kami tumpangi memasuki pelataran Terminal Guntur Garut. Sejenak melepas penat duduk dalam bis, beberapa ke kamar kecil, dan sebagian lagi menyasar tukang bubur ayam & warung indomie rebus yg tetap buka.

Dari Terminal Guntur perjalanan dilanjut menggunakan angkot menuju Cisurupan dengan ongkos Rp 5.000,- per kepalanya, menembus dinginnya malam selama lebih dari 1 jam lebih perjalanan. Sesampai di pertigaan cisurupan, sebuah colt pick up nampak terparkir dan seperti menanti rombongan2 yg akan menuju parkiran cisurupan. Setelah tawar menawar harga, akhirnya Rp 150.000 disepakati menjadi harga untuk mengangkut ke-20 orang anggota rombongan menuju parkiran papandayan. Adzan subuh berkumandang di tengah perjalanan menanjak dng colt, dan sampai dipelataran parkir papandayan sekitar pukul 05.15 WIB.

Selepas sholat subuh, istirahat sejenak,nyruput teh manis hangat dan gorengan hangat, pukul 06.15, seluruh peserta rombongan telah siap. Briefing singkat dan sedikit peregangan, pkl 06.30 WIB perjalanan pendakian dimulai.

Etape 1. Parkiran Papandayan – Kawah Papandayan
Perjalanan dimulai dengan tanjakan landai yang berbatu. Trek yang cukup “nyaman” untuk memulai pendakian. Tak berapa lama berjalan bau belerang dari kawah papandayan mulai tercium menyengat, dan cukup menyesakkan pernafasan bila tanpa masker. Sajian pemandangan di kawasan papandayan ini begitu luar biasa, dengan kepulan-kepulan asap yang membumbung dari kawah yang terlihat aktif.

Etape 2 : Kawah Papandayan – Pos 1
Setelah beberapa lama mengabadikan keindahan kawah papandayan, rombongan beranjak menuju kawasan yang disebut “Pos 1” (konon sebelum Letusan Papandayan 2002 memang ada bangunan Pos yang disebut Pos 1 ditempat tersebut). Tanjakan dari kawasan kawah menuju Pos 1 terbilang cukup menguras tenaga, masih denga iringan pohon-pohon cantigi serta jalan berbatu dan terkadang tanah yang dipijak agak gembur sehingga perlu ekstra hati-hati juga menyusurinya. Jelang pukul 09.00 WIB semua anggota tim sudah ada di pos 1, dan sajian panorama yang luar biasa kembali membuat kami takjub. Sajian yang mirip-mirip “kawah putih”-nya Ciwidey tersaji lengkap dengan batang-batang pohon yang tersisa akibat letusan tahun 2002, beberapa rekan malah menyebut juga mirip dengan “danau es”. Sessi foto-foto pun berlanjut dan agak cukup lama kami beristirahat di “shelter” ini.

Etape 3 : Pos 1 – Tegal Alun
Etape ini diawali dengan masih menyusuri bekas-bekas hutan yang terbakar habis ketika erupsi tahun 2002. Kayu-kayu hitam yang tersisa seperti menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya letusan gunung papandayan ketika itu. Selepas kawasan “Hutan mati” kita mulai disambut kawasan vegetasi hijau yang menyejukkan mata. Perlahan vegetasinya semakin rapat dan tanjakan menuju tegal alun juga semakin terjal. dibeberapa titik kita bisa menoleh ke bawah dan mendapati pemandangan yang sangat luar biasa. Jelang Tegal Alun tanjakannya semakin menjadi dengan iringin mendung yang terus menggayut. Sekitar pukul 11 kami menjejak Tegal Alun, dan sajian padang edelweis yang megah menyambut kami. Lelah selama pendakian yang cukup berat untuk menuju tegal alun seperti terbayar habis, tapi sayang kabut pekat terus menghiasi tegal alun siang itu. Tak berapa lama kami disana, hujan pun turun, yang memaksa kami memakai atribut lengkap anti hujan.

Etape 4 : Tegal Alun – Puncak Papandayan
Puas menyesapi keindahan padang edelweis kami bergerak menuju puncak, dengan sebelumnya berhenti untuk keperluan makan siang, selepas melewati sungai kecil dengan jurang yang cukup dalam yang mengharuskan kami meniti jembatan kayu buatan dengan hati-hati. Selepas makan siang, rombongan mulai melakukan perjalanan ke puncak. Perjalanan ke puncak benar-benar menguras tenaga, selain vegetasi yang sangat rapat yang tak jarang membuat kami merangkak-rangkak, tanjakan terjal yang disajikan pun membuat peserta was-was karena disisi kirinya terdapat jurang yang menganga dengan “clearance” pijakan yang terbilang sempit. 1.5 jam penuh perjuangan dihabiskan untuk mencapai tempat yang disebut “puncak 1”, tanah lapang kecil cukup untuk melihat view ke bawah yang sangat luar biasa dan beristirahat sejenak. Dan ternyata “Puncak 1” tersebut bukanlah akhir dari episode pendakian, selepas puncak 1 jalan agak menurun curam, lalu kembali menanjak dengan kiri-kanan jurang yang membuat was-was, sampai akhirnya kami bertemu dengan “puncak” lagi (mang asep pemandu kami menyebutnya “puncak 2600 m”), selepas itu kembali menurun lagi dan menanjak kembali dengan terjal dengan hujan terus mengiringi dan akhirnya kami bertemu tempat yg disebut “puncak sejati” oleh mang asep, walau pemandangannya jauh dari indah karena pemandangan ke bawah tertutupi oleh pohon dan semak.

Etape 5 : Puncak Papandayan - Pelataran Parkir Papandayan
Waktu menunjukkan pukul 13.30 ketika kami mulai benar-benar menyusuri jalan menurun, dan selama perjalanan menurun kami terus diiringi hujan berganti2 rintik dan deras, dan badai pun mulai “menghajar” kami selama perjalanan menurun, dan membuat kami terkadang berhenti untuk berlindung dari terpaan badai. Turunan yang tersaji dalam etape ini sangat curam, dan tak jarang kami harus menurun dengan “benar-benar ngesot” karena tak menemui pegangan atau pijakan yang kuat. Setelah perjalanan menurun yang curam kami akhirnya sampai di dataran dengan ilalang yang cukup lebat,dan melewati aliran sungai berbatu. Akhirnya sekitar pukul 18.30 WIB kami kembali menjejak pelataran parkir papandayan. Setelah bersih-bersih dan sholat maghrib, Indomie rebus plus telor pun dipesan disantap dengan lahapnya oleh seluruh peserta.


Expedition Cost :
1. JKT (Lebak Bulus) - Garut (Terminal Guntur) = Rp.35.000 (Primajasa)
2. Terminal Guntur - Cisurupan = Rp.5.000/org (Angkot)
3. Cisurupan - Parkiran Papandayan = Rp.150.000 (Colt Pick-up)/20 org = Rp.7500/org
4. 2 orang Guide/Porter = Rp 300.000/20 orang = Rp.15.000/orang
5. Cisurupan - Terminal Guntur (Penginapan LEC) = Rp. 150.000/20 org = Rp 7500,- (Colt Pick up)
6. LEC - Cipanas Garut - LEC = Rp 5000/org/PP (Angkot Carteran)
7. Terminal Guntur - JKT (Lebak Bulus) = Rp 35.000 (Primajasa)

Total Cost per orang = Rp.110.000,-

Jumat, 22 Juli 2011

Ekspedisi Ceria Gunung Gede 20-22 Mei 2011

Setelah menghelat dua Ekspedisi Ceria sebelumnya, menyambangi eksotisme Gunung Papandayan serta ber-trekking ria ke Kawah Ratu, Komunitas Penikmat Alam Warna-Warni (KaPAW) kembali menghelat Ekspedisi Ceria Jilid 3 ke Gunung Gede. Akhir pekan kemarin, 21-22 Mei 2011, dipilih menjadi waktu pelaksanaan ekspedisi ini. Ekspedisi Jilid 3 ini sejatinya dimaksudkan sebagai “even pemanasan” sebelum menuju ke Ekspedisi Ceria Jilid 4 ke Gunung Semeru 1 – 5 Juni 2011.

“Pemanasan” yang difahami tidak hanya terkait aspek kesiapan fisik & stamina, tapi lebih dari itu dimaksudkan sebagai sarana untuk perkenalan antara anggota KPAWW, yang merupakan “komunitas maya” dengan anggota2 yang dipertemukan via berbagai Situs Jejaring, Forum ataupun Mailing List. Disamping itu, dua ekspedisi ceria sebelumnya memang belum pernah menghadirkan interaksi peserta ekspedisi dalam format bermalam di ketinggian dalam tenda dengan segenap kompleksitas persiapan & bawaan-nya, sehingga dipandang perlu sebelum masuk ke sebuah ekspedisi semisal ke Semeru yang membutuhkan waktu bermalam dalam tenda yang lebih dari semalam untuk dibuat trip pendakian at least 2 hari 1 malam semisal ke Gunung Gede ini.

Waktu pendakian telah ditetapkan, itenerary telah dibuat, ajakan kemudian dilayangkan. Awalnya terjaring hingga hampir 30 orang peserta yang confirm akan ikut serta, kemudian menyusut menjadi 25 orang yang resmi terdaftar dalam SIMAKSI (Surat Izin Pendakian yang dikeluarkan oleh Pengelola Taman Nasional Gede-Pangrango). Tetapi di hari pelaksanaan, 5 orang terkonfirmasi mendadak tidak bisa ikut serta karena satu dan lain hal. Alhasil, peserta yang akhirnya ikut serta di pendakian ini adalah 20 orang dengan beberapa diantaranya adalah rekan yang biasa “berlama-lama” dalam forum Kaskus “Outdoor & Nature Club (OANC)” seperti agan-agan dengan ID Belumwaras, Radabolot, Djal.GM, Apoey Kompenie, Lunar Boy, Syamil2010, Kaysannawfawali, Kang Firman serta saya sendiri (Abumusyaffa).

Jum’at-Sabtu, 20-21 Mei 2011.

Di hari yang juga merupakan “Hari Kebangkitan Nasional”, ekspedisi ini bermula. Untuk peserta dari Jakarta dan sekitarnya, Terminal Kampung Rambutan ditetapkan sebagai “meeting point” keberangkatan dengan Pkl. 20.00 WIB sebagai waktu yg disepakati. Sedangkan rombongan peserta dari Bandung dan juga rombongan peserta yang menggunakan motor, langsung menuju meeting point didekat jembatan penyebrangan pasar cipanas dengan kesepakatan pkl 22.00 WIB. Tapi agaknya Jum’at Malam memang selalu bersahabat dengan yang namanya “kemacetan”. Alhasil seluruh peserta terlambat hadir disemua meeting point, dengan waktu menunjukan pkl 01.00 wib dinihari ketika semua peserta akhirnya terkumpul di pasar cipanas.

Dari Pasar Cipanas, 15 orang peserta beranjak ke kawasan pemukiman jelang pintu pendakian Gunung Putri dengan men-charter 2 angkot (@Rp.60rb) sedang 5 lainnya menggunakan motor. Sesampai di lokasi, rombongan langsung beristirahat di sebuah rumah yang sudah di-booking sebelumnya untuk jadi shelter menginap sebelum pendakian dimulai.

Sabtu, 21 Mei 2011.
Walau praktis baru mulai tidur pkl 02.00 wib, seluruh peserta dibangunkan jelang pkl 05.00 WIB untuk Sholat Subuh bagi peserta yang beragama Islam dan selanjutnya melakukan persiapan pendakian dan sarapan. Jelang Pkl 07.15 seluruh peserta sudah bersiap, sedikit briefing oleh TS dan berdo’a bersama, lalu mulai beranjak menuju pos registrasi pendakian Gunung Putri. Setelah menyerahkan SIMAKSI, pencatatan form isian sampah peserta, Pkl 07.30 WIB perjalanan pendakianpun dimulai.


20 orang Peserta Rombongan, dibagi menjadi 3 grup kecil, Grup Pionir (Grup kecil terdiri dari 5 orang diposisi depan), Grup tengah (10 orang peserta) serta Grup sweaper (5 orang diposisi belakang). Untuk Pionir disatu titik nanti akan melesat duluan kedepan ke surya kencana, mencari lokasi berkemah dan mulai mendirikan tenda sebelum seluruh peserta tiba.

Etape I : Pos Registrasi – Perhentian Sungai Kecil

Etape ini adalah etape pemanasan dengan menyusuri jalan setapak landai sedikit menanjak yang membelah sawah-sawah penduduk di kiri-kanan. Sekitar 30 menit lebih berjalan rombongan kemudian sampai di sebuah perhentian yang terlintasi oleh sungai kecil, yang merupakan sumber air terakhir di jalur via gunung putri, untuk beristirahat sejenak dan mengambil bekal air secukupnya.

Etape 2 : Perhentian Sungai Kecil – Pos Buntut Lutung

Etape sebenarnya dari jalur pendakian Gunung Putri dimulai selepas perhentian sungai kecil lalu mulai masuk ke kawasan hutan khas pegunungan yang cukup rapat. Tanjakan dengan kemiringan yang stabil khas jalur gunung putri mulai terasa. Tak jarang rombongan berhenti untuk sekedar beristirahat, makan dan minum bekal perjalanan. Karena mungkin letih, di jelang Pos Buntut Lutung satu peserta wanita dari rombongan colaps walau hanya sebentar saja. Grup tengah dan sweaper lalu memutuskan untuk istirahat agak lama untuk memulihkan kondisi rekan yang drop staminanya tersebut, sekaligus memasak beberapa perbekalan makanan untuk lebih menguatkan stamina. Setelah beristirahat hampir 2 jam dan terkonfirmasi bahwa peserta wanita yang drop tersebut dapat melanjutkan perjalanan, dengan konfirmasi berulang perjalanan rombongan berlanjut walau harus berjalan perlahan menyesuaikan dengan kondisi rekan yang sedang melemah tersebut. Dengan satu orang bergantian, terus menuntun dan seluruh bawaan di oper ke rekan lainnya.

Etape 3 : Pos Buntut Lutung – Simpang Maleber

Selepas Pos Buntut lutung rombongan berpapasan dengan beberapa penjual nasi uduk yang baru turun dari Surya Kencana dan memberi kami informasi kalau sebaiknya memilih jalur ke kiri, karena dijalur kanan yang biasanya dilalui para pendaki ada banyak pohon tumbang yang menutupi jalur sehingga menyulitkan pendakian. Hari sudah semakin sore ketika rombongan sweaper dan terus bergerak perlahan ke atas menuju simpang maleber. Jelang pukul 5 Rombongan akhir yang bergerak perlahan ini sampai di Simpang Maleber.

Etape 4 : Simpang Maleber – Surya Kencana

Jalur tanjakan selepas simpang maleber adalah yang ter-terjal di jalur pendakian gunung putri. Rombongan akhirpun semakin kepayahan dengan stamina yang semakin drop. Di etape ini, frekuensi istirahatpun semakin sering sampai akhirnya rombongan akhir ini berhenti karena sudah sangat kepayahan. Saya dan seorang rekan, kemudian memutuskan untuk secepatnya menuju Surya Kencana, untuk mencari bantuan dari team yang telah sampai di surya kencana ataupun rombongan pendaki lain. Disini kami merasakan betul “kelalaian” tidak menyertakan perangkat komunikasi semisal “Handy-Talkie” dalam peralatan tim. Dengan stamina saya dan rekan yang juga kepayahan akhirnya jelang Maghrib kita sampai di sisi timur surya kencana.

Dan, Alhamdulillah, ternyata ada satu tenda rombongan pendaki yang terpasang disisi kiri jalur sebelum masuk Surya Kencana. Langsung saya bergegas menemui mereka dan meminta bantuan dengan menceritakan kondisi tim dibawah. Termos berisi air teh manis hangat pun langsung diberikan ke kami dan sejumlah makanan hangat. Dihari yang semakin gelap dan kabut tebal mulai menyelimuti Surya Kencana, saya bergegas menuju sisi barat Surya Kencana dimana para pendaki biasa mendirikan tenda , dengan rekan saya yang tadi menemani kembali turun ke bawah bersama 1 orang dari rombongan pendaki yang kami minta tolong. Alhamdulillah tak berapa lama saya berjalan, ternyata ada 2 orang dari rombongan depan yang tercecer yang tengah duduk dan langsung keduanya ikut turun ke bawah, dan 2 orang dari sisi barat juga hampir berbarengan hadir menyusul. Kamipun bergegas menuju rombongan akhir yang tercecer dengan diputuskan sebagian mendirikan 2 tenda didekat 1 tenda rombongan pendaki lain yang kami temui, karena pastinya kami ingin memastikan rekan pendaki wanita yang kepayahan tersebut secepatnya berbaring dalam tenda untuk istirahat.

Momen-momen Kritis

Dan ternyata apa yang dikhawatirkan terjadi. Saya dan beberapa rekan yang menyiapkan 2 tenda, tiba-tiba dikagetkan dengan teriakan yang mengiringi kedatangan beberapa orang yang menyeruak dari balik jalur menuju tenda yang tengah dibangun bahwa rekan pendaki wanita kami ternyata pingsan lagi dan saat ini tengah digendong oleh seorang rekan menuju tempat saya berpijak. Tak berapa lama, rombongan akhir dengan rekan wanita yang digendong dalam kondisi pingsan tiba dan langsung dimasukan ke dalam tenda, dan segera diambil tindakan-tindakan untuk membuatnya siuman. Dan kita bersyukur ada 1 orang dokter dalam rombongan, walau beliau dokter gigi, tapi ilmu dasarnya tentang medis/kedokteran sangat membantu memberikan arahan tindakan untuk membuat siuman.

Ditengah kondisi kepanikan tersebut, dan beberapa rekan masih terus berusaha membuat rekan pendaki wanita yang pingsan untuk siuman, tiba-tiba satu orang pendaki pria jatuh dan mengerang kesakitan dengan badan yang mengejang. Kepanikan semakin menjadi karena kini ada 2 orang anggota yang drop kondisinya dan colaps. Rekan pendaki pria tersebut langsung di-evakuasi ke tenda sebelahnya, dan karena ditengarai drop akibat “gejala” hypothermia disamping yang bersangkutan belakangan diketahui memiliki masalah di lambungnya.

Pakaian rekan pria yang colaps tersebut langsung dilucuti, dan satu orang pendaki lainnya dng cepat melucuti bajunya sendiri dan langsung memeluk rekan yg tengah colaps dalam satu sleeping bag agar kehangatan cepat mengalir karena persentuhan langsung kulit dengan kulit, sementara saya dan 2 rekan lainnya memberikan minyak kayu putih di jari tangan dan kakinya dengan maksud ikut menghangatkan, sambil setengah berteriak dan terus menepuk2 wajahnya agar tersadar. Ditengah momen saya didalam tenda untuk merecovery rekan pria yang masih dalam kondisi colaps dengan badan mengejang dan dingin, tiba-tiba dari luar tenda ada yang berteriak memanggil saya untuk segera ke tenda sebelah dimana rekan pendaki wanita yang masih colaps tengah direcovery.

Ketika saya masuk, kondisi rekan-rekan yang didalam tenda sangat kepanikan, rekan wanita yang menemani bahkan menangis dan saya lihat rekan wanita yang tengah colaps tersebut matanya sempat mendelik putih semua lalu sedetik kemudian agak melotot. Sontak saya berfikir pasti ada “makhluk lain” yang tengah masuk. Rekan pria disebelah saya juga tengah memencet2 jari tangan si rekan wanita sambil bertanya2, “siapa ini...siapa ini ? ” sambil menepuk-menepuk wajahnya. Reflek saya langsung membacakan 3 surat terakhir dalam al-Qur’an (Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas) langsung disambung dengan membaca ayat kursi lekat ditelinganya. Tak berapa lama, rekan wanita tersebut tatapan matanya mulai tidak kosong sambil berbicara lirih..”sakit..sakit..sakit..”, Alhamdulillah kesadarannya sudah pulih lagi dan bisa merasakan sakit akibat jari tangannya ditekan-tekan. Saya yang dilanda kekhawatiran luar biasa hingga ketika membaca qur’an tersebut dengan hampir menangis, langsung lega dan setelah memastikan memang benar2 telah tersadar, langsung saya menuju ke tenda sebelah dimana rekan pria yang colaps tengah direcovery. Ketika saya masuk wajahnya semakin memucat, masih dalam kondisi pingsan dan tangan yang mengejang kedinginan. Saya dan rekan2 yang didalam tenda terus berusaha menghangatkan tubuhnya dan menyadarkannya, sambil terus menepuk2 wajahnya dan setengah berteriak untuk “bangun..bangun..mengucap zikir dsb...”, karena ia juga sesekali mengeluarkan suara-suara lirih dengan ocehan yang ngelantur dan membuat kita sangat khawatir.

Fikiran bahwa kita akan kehilangan seorang pendaki malam itu menggayuti rekan-rekan yang ada didalam tenda ketika itu. Tapi rahmat dan pertolongan-NYA teramat besar menaungi kami malam itu, dengan akhirnya..rekan kami tersebut bisa tersadar dari colapsnya, dan perlahan memberikan respons ucapan kami yang ada ditenda. Sontak, kelegaan luar biasa membuncah didalam tenda..dan kesyukuran yang sangat terlantun atas pertolongan-NYA.

Momen-Momen Keceriaan Terlahir Kembali

Setelah memastikan kedua rekan yang sebelumnya colaps sudah pulih dari kondisi dropnya, diberikan minuman dan makanan hangat, lalu bisa istirahat dengan tenang dan rekan dokter yang menyertai kami memastikan bahwa keduanya InsyaAlloh akan baik-baik saja, saya dan beberapa rekan langsung menuju ke sisi barat surya kencana dimana tenda-tenda sudah disiapkan, sementara beberapa rekan lainnya tetap di sisi timur istirahat di dua tenda yang telah terpasang bersama kedua rekan yang telah pulih dari kondisi dropnya.

Kondisi langit di atas surya kencana yang sangat cerah dengan banyak bintang yang gemerlap seperti menggambarkan suasana kelegaan hati seluruh peserta rombongan setelah melewati momen-momen kritis yang sangat menyita emosional kami. Semua peserta rombongan akhirnya terlelap dalam tidur dengan kelegaan dan kesyukuran yang luar biasa, dan bersiap menyambut fajar kembali dengan keceriaan.

Ahad, 22 Mei 2011.

Waktu menunjukkan pkl 21.00 WIB ketika saya memulai istirahat didalam sleeping bag, dan terbangun sebentar di pukul 02.30 WIB,melihat keluar tenda dan agak terang seperti selepas subuh. Ternyata sinar bulan yang membuat surya kencana “agak benderang” dinihari itu. Melanjut tidur, jelang pkl 04.00 WIB saya terbangun karena suara-suara diluar tenda. Ternyata beberapa rekan dari tenda lainnya sudah terbangun,bercakap-cakap dan tengah memasak untuk persiapan summit attack. Setelah memasak air panas untuk menyeduh kopi/susu sachet yang terbawa dan memakan beberapa snack. Saya dan 6 orang rekan akhirnya selepas sholat subuh langsung berangkat menuju puncak Gede, dan Alhamdulillah jelang pkl 06.00 kita bisa sampai di Puncak Gunung Gede, dan masih mendapati indahnya matahari yang baru terbit dengan semburat oranye-nya. Puncak Gede pagi itu benar-benar cerah, melanjut cerahnya cuaca di gunung gede semenjak sabtu paginya dan hanya diselingi sedikit gerimis disore hari.

Setelah puas mengabadikan momen dipuncak, jelang pkl 07.00 WIB, kita memutuskan untuk turun sambil tak lupa membeli beberapa bungkus nasi uduk dari Mang tukang nasi uduk yang juga ikutan muncak..hehehe. Setengah jam perjalanan menurun, jelang masuk kembali ke surya kencana, kami bertemu dengan anggota rombongan yang semalam menginap bersama 2 rekan yang semalam drop disisi timur, dan berencana akan muncak juga. Saya tanyakan kondisi kedua rekan tersebut, dan ternyata semakin menambah kelegaan dan keceriaan saya, karena kedua rekan tersebut malah sudah ada di kumpulan tenda tempat saya bermalam, dan pendaki pria yang malamnya drop malah dikabarkan sedang OTW ikutan muncak... Alhamdulillah, tambah sumringah perasaan saya.

Etape Akhir : Menuruni Surya Kencana kembali ke Pos Gunung Putri

Selepas sarapan, istirahat, ngobrol ngalor ngidur, menjemur pakaian dan perlengkapan yang agak lembab, foto-foto mengabadikan momen di surya kencana dan re-packing, lalu makan lagi..hehehe..rombongan akhirnya bersiap untuk turun kembali ke pos awal gunung putri. Waktu menunjukkan jelang pkl 12.00 WIB ketika rombongan mulai beringsut turun. Dan stamina serta keceriaan memang telah benar-benar pulih dari keletihan & kecemasan di malam hari, perjalanan menurun pun seperti dimudahkan. Cuaca yang cerah mengiringi langkah menurun kami hingga jelang pos buntut lutung di pukul 13.30 WIB, ketika hujan mulai mengguyur..dan Alhamdulillah, tim pionir sudah memasang flysheet terlebih dahulu untuk keperluan istirahat dan memasak, sekaligus berlindung sejenak menanti hujan mereda. Satu jam lebih rombongan berdiam dibawah bentangan flysheet sambil menyantap hidangan yang berganti dari sup, indomie rebus, nasi plus telur, teh, susu, kopi dll.. hehehe.

Jelang Pkl 15.00 WIB rombongan melanjut perjalanan, sementara hujan hanya menyisakan rintiknya saja lalu tak lama cerah kembali. Pkl 17.00 WIB, akhirnya seluruh rombongan sampai di pos registrasi awal gunung putri, menyerahkan form kembali sambil juga menyerahkan trash bag berisi sampah2 yang kami bawa dari atas. Walau letih dan pegal terlantun dari beberapa lisan, tapi raut keceriaan dan tawa yang lebih dominan menghiasi kami sore itu. Bergegas kembali menuju rumah dan warung makan tempat kami menginap semalam, bersih-bersih diri,menyantap makanan dan minuman hangat, tak berapa lama Maghrib Menjelang. Rekan-rekan Muslim lalu bergegas Sholat, dan selepasnya, ngobrol-ngobrol sejenak sambil menyiapkan packingan pulang, seluruh rombonganpun sudah bersiap dan duduk manis di dua angkot yang telah menanti dibawah di pukul 18.30 WIB.

Lantunan kesyukuran & terima kasih kami untuk :

1.ALLAH Swt, atas segala naungan rahmah, keselamatan dan keberkahan-Nya atas perjalanan kami.
2.Mas Irfan dan rekan2 pendaki dari Bintaro yang kami temui dan berperan sangat besar menolong kami ketika proses evakuasi dan recovery.
3.Kaskus OANC untuk kami berbagi cerita dan mendapat begitu banyak ilmu tentang kegiatan outdoor.
4.Dan seluruh pihak yang telah menjadikan perjalanan ini lancar dan selamat untuk semuanya(AM)

Rabu, 13 Juli 2011

Warna-Warni Ekspedisi Ceria ke SEMERU 1-5 Juni 2011

Setelah 1 bulan lebih sebelumnya direncanakan dengan menyisipkan “pendakian pemanasan” ke Gunung Gede 21-22 mei 2011 silam, Ekspedisi Ceria Jilid 4 Komunitas Pencinta Alam Warna-Warni (KaPaWW) akhirnya berhasil terhelat dengan baik direntang 1-5 Juni 2011.

Ekspedisi pendakian ini bermula dengan dilayangkannya ajakan resmi via berbagai situs Jejaring dan juga beberapa mailing list,termasuk juga info-info via Forum Outdoor & Nature Club (OANC) Kaskus. Ajakan ini ternyata memancing antusiasme & minat kesertaan banyak peserta, dan singkatnya hingga batas waktu terakhir akhirnya 58 orang terkonfirmasi akan ikut serta bergabung dalam ekspedisi ceria pendakian gunung semeru ini.

Atas banyak masukan dari beberapa peserta, termasuk juga saran dari beberapa sesepuh OANC yang sebelumnya sudah pernah menghelat sebuah ekspedisi pendakian dengan jumlah peserta yang terbilang banyak, ke-58 peserta di bagi ke dalam grup-grup kecil dengan masing-masing grup diketuai oleh seorang ketua regu yang bertanggungjawab untuk memonitor setiap anggotanya. Regu 1 dipimpin oleh Ahmad Fauzy dengan anggota2 berasal dari sekitar Jakarta dan Tangerang, Regu 2 digawangi oleh Dwi Purwanto dengan anggota2 berasal dari sekitar Jakarta, Tangerang dan juga Bogor, Regu 3 diketuai oleh A. Djalaludin dengan kebanyakan anggota berasal dari Jakarta & Tangerang, Regu 4 dipimpin oleh Dwi Mugia Utama dengan mayoritas peserta berasal dari Bandung dan terakhir regu 5 yang dipimpin Agung Kurniawan dengan anggota banyak berasal dari timur pulau Jawa (Surabaya,Malang,Magelang), dan kebanyakan merupakan anggota Komunitas Backpacker Indonesia (BPI) Surabaya

Rabu 1 Juni – Kamis 2 Juni 2011
Meeting-Point untuk seluruh peserta ditentukan Kamis 2 Juni 2011 di Stasiun Kota Baru Malang, dengan asumsi kebanyakan peserta menjangkau Malang dengan moda transportasi Kereta Api bersama KA Matarmaja yang rentan untuk datang terlambat berkaca kepada pengalaman rekan2 sebelumnya. Namun ketika hari “H” meeting point ini ternyata harus dirubah langsung ke pasar tumpang, karena KA Matarmaja justru ternyata tiba di Malang lebih cepat dari biasanya dan justru peserta lain yang berangkat dengan angkutan lain yang malah terlambat melipir ke malang. KA Gumarang tujuan Stasiun Pasar Turi Surabaya yg saya tumpangi bersama 11 rekan lainnya terlambat sekitar 2.5 jam dari jadwal seharusnya pkl 05.20 WIB, sementara Regu Bandung yang menuju Malang dengan KA Malabar malah 2 anggotanya tercecer akibat ketinggalan kereta. Alhasil, saya me-remote rekan-rekan yang sudah lama sampai di Malang, terutama Regu Surabaya & sekitarnya, untuk langsung menuju ke Pasar Tumpang.

Saya & 11 rekan yang naik KA Gumarang akhirnya menjadi rombongan paling akhir sampai di Pasar Tumpang jelang pkl 14.15 WIB, disamping 2 rekan Bandung yang tercecer. Setelah Sholat, makan, beberapa malah mandi, koordinasipun singkat diadakan. Akhirnya satu per satu regu berangkat menuju Ranu Pane menggunakan Jeep Hardtop sewaan milik Cak Nu yang sudah menanti di depan Alfa Mart Pasar Tumpang. Setelah berhenti beberapa saat akibat terhambat beberapa volunteer/petugas yang tengah memperbaiki jalur yang rusak, jelang Pkl 17.00 WIB seluruh peserta rombongan telah sampai di Ranu Pani. Setelah registrasi pendakian dengan masing-masing peserta menyerahkan fotocopy KTP & Surat Keterangan Sehat masing-masing 2 lembar, uang pendaftaran Rp. 7.500/orang & tambahan Rp.5.000 untuk setiap Kamera yang dibawa. Briefing sejenak dan berdo’a bersama sebelum memulai pendakian, sekitar pkl 17.30 WIB seluruh rombongan memulai pendakian, terkecuali regu Surabaya yang sudah lebih dahulu berangkat serta Regu Bandung yang belum lagi sampai di Ranu Pani karena masih menanti kedatangan 2 rekannya yang tercecer.

Kamis, 2 Juni 2011

Etape I : Ranu Pane (2.200 mdpl) – Ranu Kumbolo (2.400 mdpl)
Di etape ini akan ada 4 pos yang dilalui sebelum sampai di Pos Ranu Kumbolo. Memulai pendakian rombongan mengawali dengan menyusuri jalan besar ber-aspal sekitar 5 menit sebelum akhirnya berbelok ke kanan masuk melintasi Gapura “Selamat Datang” menyusuri jalan yang lebih kecil, lalu masuk lagi ke jalur setapak dengan bata bersemen yg rapi. Diawal etape jalan setapak ini jalur sedikit menanjak stabil sampai beberapa waktu, lalu kemudian jalur landai yang mendominasi dengan disisipi sedikit tanjakan. Kurang lebih satu jam perjalanan rombongan akhirnya sampai di Pos 1 (biasa disebut “Watu Rejeng”). Pos 1 menuju Pos 2 jalur masih terbilang dominan landai sedikit menanjak sekitar setengah jam perjalanan. Selepas Pos 2 menuju Pos 3 adalah rentang antar pos terpanjang di etape I, dengan jalur yang berganti-ganti tanjakan serta turunan, dengan cukup banyak melintasi pohon-pohon ataupun ranting tumbang. Di rentang antara pos 2 dan 3 hujan rintik-rintik mulai turun, tapi tak berapa lama kemudian Alhamdulillah cerah kembali. Di Pos 3 rombongan ber-istirahat cukup lama karena beberapa orang nampak kepayahan ditambah kondisi mengantuk. Lepas dari Pos 3 kita disuguhi tanjakan terjal dengan kemiringan 45 derajat yang stabil dan cukup panjang.

Tanjakan ini cukup menguras tenaga, tapi selepasnya kita disuguhi trek melandai yang cenderung menurun hingga menemui Pos 4 yang berupa bangunan yg sudah ambruk atapnya tapi terlihat kalau didalamnya ada beberapa pendaki yang menjadikannya sebagai shelter peristirahatan. Setelah beberapa lama akhirnya jelang pkl 01.00 WIB dinihari seluruh rombongan menjejak Ranu Kumbolo. Walau gelap, tapi dari keremangan lampu atau senter yang menyala terlihat kalau Ranu Kumbolo penuh sekali dengan tenda malam itu, belum lagi dingin yang menusuk tulang. Secepatnya seluruh rombongan mendirikan tenda-tenda, beberapa memasak makanan & minuman hangat, beberapa langsung terlelap setelah tenda berdiri.

Walau sangat dingin, tapi kami melewati dinihari hingga subuh hari dengan relatif nyenyak, yang mungkin juga terbantu fisik yang lelah serta kurang tidur dalam perjalanan via Kereta Api. Waktu menunjukkan pkl 05.30 WIB ketika saya terbangun, dan mendapati suara-suara di luar tenda sudah cukup ramai. Ketika keluar tenda saya mendapati kabut pekat masih bersemayam di Ranu Kumbolo dan menghalangi pemandangan air danau. Kondisi view ke air danau yang tertutup kabut pekat ini cukup lama hingga selepas pkl 07.00 WIB. Aktifitas pagi di ranu kumbolo diisi dengan agenda masak-memasak, bercengkrama antar anggota dan pastinya mengabadikan momen pagi di Ranu Kumbolo yang eksotis sambil menanti Pkl 10.00 WIB waktu yang disepakati untuk keberangkatan menuju Pos Kalimati.

Jum’at 3 Juni 2011

Etape 2 : Ranu Kumbolo – Oro Oro Ombo – Cemoro Kandang – Jambangan - Kalimati
Pkl 10.15 WIB semua rombongan sudah bersiap melanjut menuju Kalimati kecuali beberapa orang dikarenakan kondisi sakit memilih untuk menetap di Ranu Kumbolo, beberapa lagi tetap ke Kalimati tapi kemudian kembali lagi ke Ranu Kumbolo untuk bermalam. Dengan sedikit briefing kemudian berdo’a bersama perjalanan ke kalimati pun dimulai.

Perjalanan diawali dengan mendaki dinding bukit yang mengelilingi ranu kumbolo yang acap di sebut “Tanjakan Cinta”, dengan kemiringan yang cukup terjal dan panjang. Alhasil banyak peserta yang cukup kepayahan untuk sampai di atas bukit.

Tapi kepayahan dalam mendaki tanjakan cinta kontan terbayar dengan hamparan sabana rumput yang sangat luas dan sangat memanjakan mata, yang disebut oro-oro ombo. Dijalur sebelum masuk ke oro-oro ombo ini saya bertemu dengan seorang pendaki berkaus lengan panjang biru telur asin yang disainnya tak asing walau saya tidak ikut Gathering Nasional OANC dan ternyata pendaki gondrong itu adalah kaskuser OANC ber-ID “Rizliconfuse” sambil bertukar sapa sejenak, yang belakangan diketahui jalan bareng dengan dua kaskuser OANC lainnya yaitu “Garayy” dan “Alfanaki”. Melintas oro-oro ombo bisa dengan melipiri jalan setapak disisi kiri bukit atau turun ke bawah dengan kemiringan agak curam, lalu melintasi padang rumput yang cukup tinggi.

Selepas sabana oro-oro ombo, rombongan masuk ke kawasan hutan dengan vegetasi cukup rapat hingga sampai di suatu area dengan pohon-pohon cemara cukup banyak yang acap disebut “Cemoro Kandang”. Setelah mendaki dan melintasi cemoro kandang, perjalanan kemudian sampai di satu dataran landai yang cukup luas dengan beberapa edelweis yang disebut “Jambangan”. Dari area jambangan ini, kemegahan puncak mahameru jelas sekali terlihat. Di area ini kita kembali bertemu dengan trio OANC-ers, Rizliconfuse,Garayy & Alfanaki. Dan karena kamera yang dibawa om-om OANC-ers ini bertipe DSLR canggih, alhasil cukup lama kita berfoto-foto ria di Jambangan karena beberapa rekan memang hanya berniat sampai di Jambangan saja lalu kembali lagi ke Ranu Kumbolo.

Setelah istirahat,bercengkrama & banyak berfoto-foto rombongan yang akan melanjut ke kalimati meneruskan sedikit lagi perjalanannya hingga sampai sekitar pkl 15.00 WIB di Kalimati dan memilih lokasi di beberapa puluh meter disebelah kanan bangunan permanen di Kalimati, istirahat,buka tenda,masak-masak dan mengambil air secukupnya di Sumber-Mani (berjarak sekitar 45 menit perjalananan pulang pergi dari tempat kami beristirahat). Yang beristirahat di area ini adalah Regu 2 (Dwi Purwanto cs), Regu 4 (Gerombolan Bandung) serta Regu 5 (Pasukan Surabaya dsk). Regu 1 (Ahmad Fauzy dkk) memilih mendekat di Bangunan Permanen Pos Kalimati, sementara Regu 3 (Djal dkk) memutuskan melanjut ke Arcopodo dan akhirnya membuka tenda di pos/shelter sebelum pos arcopodo. Sore hingga malam di Kalimati dilalui dengan banyak istirahat untuk persiapan Summit Attack.

Sabtu 4 Juni 2011
Etape 3 : Kalimati – Arcopodo – Cemoro Tunggal - Mahameru
Waktu menunjukkan pkl 22.45 ketika saya terbangun dan mendengar suara rekan-rekan yang sudah terbangun lebih dahulu di luar tenda. Pkl 23.00 WIB baru benar-benar keluar tenda untuk menyantap makanan serta menyeruput minuman hangat. Pkl 24.00 semua rombongan sudah bersiap dengan perbekalan makanan/minuman secukupnya dalam tas kecil masing-masing, lalu briefing sejenak dan berdo’a bersama. Perjalanan dimulai dengan masih menapaki lahan datar kalimati melewati bangunan permanen, lalu tak berapa lama bertemu dengan turunan yang agak curam dan melewati jembatan kecil. Mulai masuk ke vegetasi hutan, jalur pendakian mulai menanjak dan cukup melelahkan.

Setelah sekitar 1.5 jam berjalan rombongan akhirnya sampai di Arcopodo. Terlihat beberapa tenda berdiri di shelter ini, dan masih ada beberapa orang yang tengah bersiap-siap untuk muncak. Setelah agak lama beristirahat dan menyantap perbekalan di pos Arcopodo, rombongan lalu beringsut melanjutkan perjalanan. Selepas Arcopodo jalur pendakian mulai berpasir sampai bertemu dengan jalur sempit dengan melintasi tiang berantai di kiri & kanan, lalu selepas itu vegetasi sudah mulai hilang dan berganti dengan medan yang benar berpasir serta berbatu (yang kebanyakan merupakan pijakan yang labil).

Di jalur ini suhu menjadi sangat dingin dan hembusan anginnya cukup kencang, sehingga kita akan cepat sekali merasa kedinginan bila tengah istirahat sejenak. Ketika mendongak ke atas terlihat sekali kalau pendaki yang tengah meniti jalur menuju puncak sangat-sangat banyak, yang terlihat dari iringan sinar lampu senter yang rapat dan panjang. Di medan inilah apa yang sering di-ulas tentang 5-2 (5 langkah menapak naik 2 langkah menurun akibat pijakan pasir yang labil) benar terasakan. Antar Regu juga sudah mulai terpecah-pecah dan berjarak cukup signifikan antar satu dengan yang lain, karena begitu banyaknya pendaki yang muncak dinihari itu, sehingga ketika satu kelompok istirahat akan cepat disisipi oleh kelompok lain.

Alhasil waktu sampainya masing-masing regu ataupun beberapa orang yang tercecerpun menjadi bervariasi. Ada yang sudah sampai di puncak pukul 03.50, 04.10 WIB, pkl 04.30 WIB, pkl.05.00 WIB, pkl 05.30 , antara pkl 06.00 hingga pkl 07.00 WIB, dan beberapa lagi antara Pkl 07.00 hingga pkl 08.00 WIB. Pemuncak yang terakhir tercatat adalah atas nama Apoey dari Regu 2, yang memang menjadi sweaper bersama Adam, yang terus menemani 2 orang pendaki perempuan dari Regu 3 (Anggi) dan Regu 4 (Tyas) yang berjalan perlahan tercecer karena cedera yang mereka alami. Anggi & Tyas akhirnya memutuskan tidak melanjutkan pendakian, dengan banyak pertimbangan, dan akhirnya ditemani Adam (Regu 2) serta Dwi Purwanto (Ketua Regu 2), yang memutuskan berbalik arah ke bawah setelah di-contact via HT oleh Adam terkait kondisi Anggi & Tyas, padahal Mahameru sudah tak lama lagi akan dijangkau oleh Dwi, Salut !..dan pastinya salut juga terlantun tuk Adam yang telah dengan rela sabar berlama-lama terus menemani kedua rekan yg tengah drop kondisinya dan akhirnya ikut menemani sampai keduanya turun dengan selamat, mengalahkan "ego"-nya tuk menjejak Mahameru... Pendaki Sweaper sejati.


Etape Menurun :

Mahameru – Kalimati
Perjalanan menuruni lereng Mahameru menuju Kalimati benar-benar sangat berbeda & menyulut sensasi tersendiri dengan seolah-seolah kita tengah bermain Ski diatas salju, hanya saja medan yang kita luncuri adalah pasir. Tapi kehati-hatian, konsentrasi dan kuda-kuda yang bersiaga juga tetap mutlak dibutuhkan selama pendakian menurun, terutama untuk tidak menginjak batu-batu yang labil serta potensi untuk terjungkal karena terlalu semangat untuk turun. Saya dan beberapa rekan mulai meluncur turun lewat pukul 08.00 WIB dengan pergerakan perlahan akhirnya bisa kembali di pos Kalimati sekitar pkl 11.00 WIB. Sesampai di Kalimati rombongan langsung beristirahat, beberapa langsung terlelap dalam tenda, beberapa lagi mulai memasak logistik makanan yang masih tersisa. Sebagian besar rombongan berdiam istirahat di kalimati hingga pkl 14.00 WIB.


Kalimati – Ranu Kumbolo
Pkl 14.30 WIB rombongan sudah bersiap menuju Kalimati, lalu mulai menyusuri jalur menurun walau diawal jalur Kalimati menuju Jambangan kita kembali disuguhkan jalur landai menanjak yang agak panjang dan cukup menguras stamina. Setelah beristirahat dibeberapa titik shelter akhirnya dengan segenap tenaga yang tersisa sekitar pkl 16.45 rombongan kembali menjejak areal Ranu Kumbolo dan bergabung bersama pendaki-pendaki lainnya yang sudah terlebih dahulu sampai. Sesampai di Ranu Kumbolo langsung beristirahat sambil menyantap makanan serta minuman yang disiapkan oleh beberapa rekan yang tidak ikutan ke kalimati dan bermalam di Ranu Kumbolo. Setelah cukup istirahat dan menyantap makanan, packing ulang dilakukan khususnya untuk tenda-tenda yang masih berdiri di ranu kumbolo serta perlengkapan-perlengkapan yang sebelumnya sengaja ditinggal di ranu kumbolo.

Ranu Kumbolo – Ranu Pane
Waktu menunjukkan Pkl 17.30 WIB ketika rombongan yang memutuskan untuk langsung ke Ranu Pane untuk bermalam berangkat meninggalkan Ranu Kumbolo. Sebenarnya saya dan beberapa rekan dilanda kekhawatiran apakah tetap berangkat pkl 17.30 wib atau pkl 18.30 selepas Maghrib. Tapi karena pertimbangan agar masih mendapat beberapa waktu berjalan dalam kondisi terang serta pertimbangan agar sampai di Ranu Pane tidak lewat tengah malam, ditambah lagi suhu di Ranu Kumbolo saat itu mendadak terasa sangat dingin, bahkan beberapa menyebut lebih dingin daripada ketika di Puncak ataupun di Ranu Kumbolo malam sebelumnya, akhirnya rombongan memutuskan untuk tetap berangkat. Satu jam berjalan rombongan akhirnya sampai di Pos 3, dan terlihat ada tenda “Mountain Hardware” yang terpasang di areal depan pos 3. Langsung beberapa rekan bergumam, “Weitss..Mantapp nih gear-nya.. Tenda Dewa”..hehehe..dan ketika beristirahat di Pos 3 dan bertemu dengan para pemilik tenda tersebut barulah kita tahu kalau ternyata ketiga orang tersebuh adalah para sesepuh OANC yaitu Om Tempixer, Om Baloengnom & Om Sherpageisha. Obrolan hangatpun langsung mengalir setelah para sesepuh tersebut mengetahui kalau sebagian dari kita juga adalah OANC-ers.

Selepas Pos 3 rombongan langsung bergegas dengan ritme berjalan yang relatif normal dengan sedikit Istirahat, dengan suasana yang tetap ceria ditambahlagi dengan bayangan teh manis hangat dan nasi rawon yang sudah lekat melintas difikiran banyak rekan. Melewati Pos 2 lalu lanjut ke Pos 1 (Watu Rejeng) dengan naungan langit yang sangat cerah. Tapi memang, apa yang telah banyak disampaikan untuk tidak berjalan malam di rentang jalur Ranu Kumbolo – Ranu Pane, agaknya lebih baik untuk diikuti terkecuali memang ada kondisi-kondisi yang mengharuskan atau tidak ada opsi untuk menunda dengan bermalam lagi Ranu Kumbolo.

Entah memang kondisi fisik yang sudah melemah, dengan keletihan sangat serta kondisi mengantuk akibat kurangnya istirahat beberapa rekan merasakan hal-hal yang diluar nalar dibeberapa titik khususnya jelang pos 1. Dan semua anggota rombongan meng-iyakan ketika seorang anggota berujar kalau dari Pos 1 menuju ke Ranu Pane menjadi terasa sangat lama (ditempuh lebih dari 1.5 jam dengan kondisi kita tidak berhenti untuk beristirahat) dengan beberapa merasa melewati ruas yang sama. Tapi lepas dari hal-hal diluar nalar yang mungkin diinisiasi oleh faktor keletihan, akhirnya jelang pkl 23.30 WIB seluruh rombongan berhasil menjejak Basecamp Ranu Pane kembali dan langsung menghambur ke warung nasi Ibu disebelah kiri sebelum Basecamp dan sebagian lagi menyasar Baso Malang didepan Basecamp peristirahatan. Selepas bersantap, seluruh rombongan langsung terlelap dalam Sleeping Bag masing-masing di dalam ruangan Basecamp yang cukup luas, dengan sebagian tidur didalam kamar dengan kasur yang disewa dengan harga sangat kekeluargaan ala Pendaki.

Minggu 5 Juni 2011
Sebagaimana opsi yang ditawarkan di itenerary sebelum perjalanan, rombongan akhirnya terpecah menjadi 2 main-stream, mereka yang memilih melanjutkan perjalanan ke Bromo dan sekitarnya sebelum nantinya melanjut ke Probolinggo, lalu Surabaya dan akhirnya ke Jakarta serta rekan-rekan yang memilih untuk langsung dari Ranu Pane menuju ke Tumpang, Malang lalu pulang ke asal domisili masing-masing, termasuk di rombongan ini Regu 1 dan 3 yang memutuskan bermalam lagi di Ranu Kumbolo di malam sebelumnya dan baru Minggu pagi meluncur ke Ranu Pane.


Penutup & Terimakasih
Akhirnya hanya kesyukuran sangat yang terlantun mengakhiri ekspedisi ceria pendakian gunung semeru ini bahwa akhirnya kesemua peserta dapat kembali ke rumah masing-masing dengan selamat tanpa kurang satu apapun, walau beberapa rekan membawa sedikit cedera dan ada satu-dua yang kehilangan barang ketika perjalanan pulang. Melantun kesyukuran atas keselamatan seluruh rombongan di bilangan Jumlah pendaki yang terbilang sangat banyak, dengan segala kompleksitasnya. Ternyata kasih sayang dan keberkahan-NYA selama ekspedisi ini sangat terasa menaungi kami selama perjalanan. Dari ragam latar belakang anggota yang banyak tak saling mengenal sebelumnya, tapi Alam akhirnya menjadikan kita bersatu tak ubahnya satu keluarga. Binar wajah & senyum mengembang mengiringi celoteh-celoteh riang selepas pendakian Semeru akhirnya mengantarkan pada satu tanya yang sama, “ Selepas ini..KITA kemana lagi ? “..
Karena sejatinya, “Tiada AKU atau KAMU, yang ada hanya KITA dan ALAM”.

Terima kasih kepada :
1. ALLOH Swt, Tuhan YME, yang Maha Memudahkan, yang Maha Berkehendak, yang Maha berkuasa sehingga atas kuasa-NYA, perjalanan ini dapat berjalan dengan baik & lancar.

2. Keluarga (Orang-tua/Suami/Istri/Anak-anak) dari masing-masing anggota pendakian yang mendukung kiprah kami dalam ekspedisi ini, terutama dengan munajat do’a-do’a untuk keselamatan perjalanan.

3. Seluruh anggota “Komunitas Pencinta Alam Warna-Warni (KaPAWW)” atas dukungan & perbantuannya, walaupun tidak ikut serta dalam pendakian tapi hati mereka terus bersama yang ikut serta.

4. Keluarga besar Kaskus OANC dengan segenap keramahan & kehangatannya berbagi banyak hal seputar sebuah ekspedisi pendakian yang baik, termasuk untuk para OANC-ers yang ikut serta dalam pendakian ini.

5. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat tersebut namanya satu persatu.

-------------------------------------------------------------------------
Rincian Biaya (Regu yang berangkat dari JKT ke Malang via Surabaya)
Keberangkatan
1. KA Gumarang (Kelas Bisnis) JKT Kota 17.45 wib -Surabaya 05.20 wib=@ Rp. 185.000
2. Carter Elf Stasiun Ps.Turi Surabaya - Tumpang = Rp.400.000
3. Carter Jeep Tumpang - Pos Registrasi Ranu Pani = Rp. 450.000 (s.d 12org)
4. Biaya Pendaftaran Pendakian di Ranu Pani = @ Rp.7.500 + Rp. 5.000 untuk setiap kamera yang dibawa.
5. Biaya Porter Rp.100.000/Hari

Kepulangan + Side Trip to BROMO
1. Carter Jeep Ranu Pani - Bromo/Cemoro Lawang = Rp. 450.000
2. Angkutan Bison cemoro lawang - probolinggo = @Rp.25.000
3. Bis Probolinggo - Terminal Bungur Surabaya = @Rp. 12.000,-
4. Terminal Bungur - Stasiun pasar turi = Bis Kota @Rp.5.000/Carteran Kijang @Rp.8.000
5. KA Gumarang (kelas bisnis) Sby Ps.Turi 17.25 wib - JKT 06.00 wib = Rp.185.000

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by RadaBolot - BolotJourney | Design Blog, RadaBolot